Program Melanjutkan Restrukturisasi dan Reformasi di Bidang Sarana dan Prasarana

Program Melanjutkan Restrukturisasi dan Reformasi di Bidang Sarana dan Prasarana
Program ini bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi maupun usaha di bidang jasa pelayanan sarana dan prasarana energi kelistrikan, pos, telekomunikasi, informatika, dan penyiaranserta menyehatkan dan meningkatkan kinerja perusahaan yang bergerak di bidang sarana dan prasarana energi.

Sasaran dilakukannya restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana energi adalah: (1) pulihnya kelayakan keuangan (financial feasibility); (2) terciptanya kompetisi dan pengaturan dalam pembangunan sarana dan prasarana ketenagalistrikan; (3) meningkatnya efisiensi pemanfatan dan ketersediaan sumber pendanaan baru sejalan dengan peningkatan peran swasta; (4) meningkatnya transparansi dan efisiensi pemerintah dalam pengelolaan sarana dan prasarana energi sejalan dengan berkurangnya peran pemerintah; (5) menerapkan model/struktur industri ketenagalistrikan berikut jadual implementasinya; (6) menciptakan perangkat regulasi yang jelas dan kondusif serta meniadakan peraturan yang menghambat investasi; (7) menciptakan kompetisi yang sehat baik di sektor hulu maupun hilir.

Langkah-langkah kebijakan yang diambil adalah memperkuat kerangka hukum dalam pembangunan prasarana energi. Hal ini untuk mendorong terwujudnya pasar kompetitif, dan tersedianya prinsip-prinsip dasar penetapan tarif dan pemberian subsidi. Kerangka hukum tersebut akan diwujudkan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Rancangan Undang-Undang baru. Arah kebijakan ketenagalistrikan adalah (1) penciptaan struktur industri ketenagalistrikan yang sesuai untuk daerah kompetisi dan non kompetisi, (2) penyehatan asset, organisasi dan manajerial serta financial secara bertahap dan sistematis, (3) pelaksanaan subsidi tepat sasaran, (4) pemenuhan tarif yang sesuai dengan keekonomiannya; dan (5) penyusunan peraturan pemerintah dan petunjuk teknis yang mendukung pelaksanaan undang-undang ketenagalistrikan agar tercipta iklim yang kondusif untuk investasi.

Beberapa perubahan telah dimulai, tetapi kecepatannya perlu ditingkatkan, dan ruang lingkup perubahannya diperluas. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran tersebut, telah dilakukan enam langkah kegiatan menuju restrukturisasi secara penuh, yaitu: (1) restrukturisasi dan pemecahan industri (unbundling system); (2) pengembangan hubungan komersial dan pengenalan kompetisi; (3) penerapan tarif yang lebih berorientasi pada mekanisme pasar; (4) pengembangan partisipasi swasta; (5) reposisi peran pemerintah; serta (6) penguatan institusi termasuk pengembangan kerangka hukum.

Dalam upaya meningkatkan pasokan listrik dari berbagai sumber serta untuk lebih melibatkan masyarakat, maka pemerintah pada tanggal 12 Juni 2002 telah menerbitkan Keputusan Menteri Energi Sumberdaya Mineral No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar, yang lebih memungkinkan masyarakat yang mengusahakan pembangkit tenaga listrik dalam skala usaha kecil untuk menjual listriknya kepada PT. PLN (Persero). Terobosan paling signifikan dalam bidang regulasi dan pengaturan adalah penetapan UU tentang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 dan UU tentang Ketenagalistrikan yang baru No. 20 Tahun 2002. Kedua UU tersebut secara signifikan mendorong penyelenggaraan kompetitif di bidang energi.

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 31 Tahun 2003 telah mendorong terciptanya kompetisi di pasar migas nasional. Saat ini kegiatan usaha migas di bagian hulu dilaksanakan oleh Pertamina dan KPS (Kontraktor Production Sharing). Sedangkan di hilir praktis semua kilang masih dimiliki oleh Pertamina. UU tersebut mengamanatkan dibentuknya dua badan baru, yaitu Badan Pelaksana yang berfungsi melakukan pengawasan Kontrak Kerja Sama (KKS) agar pengambilan sumber daya alam migas dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal untuk negara, dan Badan Pengatur yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkatan gas bumi melalui pipa dalam suatu pengaturan agar ketersediaan dan distribusi BBM yang ditetapkan oleh pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri. Badan Pelaksana yang sering disingkat dengan BP Migas dibentuk dengan PP No. 42 Tahun 2002 dan telah pula berfungsi, sedangkan Badan Pengatur yang dibentuk melalui PP No. 67 Tahun 2002 sedang dalam tahap memulai tugasnya.

Pengembangan energi terbarukan telah pula mengalami kemajuan yang berarti dengan disahkannya UU No. 27 tentang Panas Bumi pada akhir September 2003. UU ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan kegiatan usaha panas bumi dan mendorong partisipasi swasta yang akan memberikan dampak strategis terhadap kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Di samping itu, UU ini diharapkan dapat lebih mendorong pemanfaatan panas bumi agar mampu bersaing dengan sumber energi lainnya. Demikian pula pedoman pola tetap dan road map pengembangan panas bumi 2020 telah disusun sebagai dasar dalam penyusunan regulasi panas bumi.

Hasil-hasil yang telah dicapai untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan tampak dari  UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, tersusunnya Pedoman Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan (Blue Print Implementasi UU 20/2002), sebagai penjabaran dari UU No 20 tahun 2002 tentan Ketenagalistrikan diterbitkan PP No 53 tahun 2003 tentang Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal), diterbitkannya Keputusan Menteri No. 856 K/30/MEM/2003 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan yang dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun program dan rencana ketenagalistrikannya masing-masing dan telah diterbitkannya pada Keputusan Menteri No. 0954/30/MEM/2004 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Dengan adanya RUKN ini, maka para pelaku usaha yang memiliki wilayah usaha harus menyusun Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RPTL) berdasarkan RUKN, dimana RPTL ini merupakan rencana pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik di wilayah usahanya serta tersusunnya beberapa RPP serta rancangan Keputusan Menteri (Kepmen). Untuk listrik swasta (IPP), saat ini telah diselesaikan 20 pembangkit dengan status sepakat dengan harga jual serta terms and condition  yang baru, 6 pembangkit close out dan 1 pembangkit dalam proses arbitrase.

Pada subsektor pos, telah dilakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang sebagai pengganti UU Pos No. 6 Tahun 1984.

Sedangkan pada subsektor telekomunikasi, pemerintah telah melakukan restrukturisasi untuk menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih efisien dan kompetitif. Langkah restrukturisasi tersebut meliputi (1) pemberlakuan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mengamanatkan penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi; (2) restrukturisasi penyelenggara telekomunikasi melalui peniadaan kepemilikan bersama dan kepemilikan silang PT Telkom dan PT Indosat; (3) pengakhiran dini hak eksklusivitas PT Telkom sebagai penyelenggara lokal dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), serta hak eksklusivitas PT Indosat sebagai penyelenggara Sambungan Langsung Internasional (SLI); (4) penetapan kebijakan duopoli pada penyelenggaraan telepon tetap dengan mereposisi PT Telkom dan PT Indosat sebagai Full Network and Service Providerterhitung sejak 1 Agustus 2002 (lokal) dan 1 Agustus 2003 (SLJJ dan SLI) sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan sebagai transisi menuju penyelenggaraan kompetisi; (5) penyempurnaan dan penyusunan berbagai peraturan pendukung penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif; dan (6) pembentukan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk menjamin transparansi, independensi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Selain itu, dalam rangka reposisi peran pemerintah sebagai pembina subsektor telekomunikasi dan bukan lagi sebagai penyelenggara, pada bulan Desember 2002 pemerintah sebagai pemegang saham terbesar di PT Indosat melepas 41,94% sahamnya senilai Rp 5,64 triliun kepada Singapore Technologies Telemedia.

Sejak dibubarkannya Departemen Penerangan pada tahun 2000, status badan hukum TVRI dan RRI diubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Status badan hukum TVRI kemudian diubah menjadi Persero pada tahun 2003. Pengubahan status tersebut bertujuan untuk memberikan peluang yang lebih luas kepada TVRI dalam menggali berbagai sumber pendanaan di luar APBN. Disamping itu, pada tahun 2002 pemerintah menetapkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan penyiaran Indonesia dengan menyalurkan aspirasinya melalui Komisi Penyiaran Indonesia.

Permasalahan yang dihadapi adalah adanya beberapa RPP yang sampai saat ini belum disyahkan, yaitu RPP Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, RPP Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, RPP Keselamatan dan Kesehatan Operasional Migas serta Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan RPP Penetapan Besarnya Bagian Negara, Pungutan Negara dan Bonus dari Kegiatan Usaha Hulu Sektor Minyak dan Gas Bumi serta Tata Cara Penyetorannya kepada Pemerintah.

Tantangan yang dihadapi antara lain adalah APEC 2020 khusus negara berkembang yang memerlukan kesiapan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk menghadapinya

Permasalahan yang ada di bidang ketenagalistrikan meliputi: (i) lemahnya daya saing teknologi dan sumberdaya manusia, (ii) lemahnya efisiensi industri ketenagalistrikan termasuk industri penunjangnya, (iii) lemahnya daya beli masyarakat, (iv) hanya ada satu lembaga sertifikasi produk yang telah terakreditasi., (v) belum ada lembaga inspeksi ketenagalistrikan yang terakreditasi dan (vi) infrastruktur laboratorium untuk pemberlakuan SNI wajib belum memadai.

Adapun tantangan yang harus dihadapi adalah (i) meningkatnya peran bisnis energi yang mengarah kepada mekanisme pasar untuk meningkatkan nilai tambah dan (ii) meningkatnya penggunaan kandungan lokal dan meningkatnya peran sumber daya manusia nasional dalam industri energi.

Berlarutnya restrukturisasi penyelenggaraan pos menyebabkan semakin rendahnya daya saing dan kualitas SDM sehingga menjadikan PT Pos Indonesia semakin tertinggal dalam kompetisi dengan berbagai Perusahaan Jasa Titipan dan perusahaan multinasional.

Pada subsektor telekomunikasi, tidak adanya tolok ukur pelaksanaan duopoli menimbulkan kesulitan dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan kebijakan ini. Bila evaluasi dilakukan dengan mengacu pada kriteria peningkatan laju pembangunan sambungan baru, pertambahan layanan dan pilihan bagi masyarakat, serta persaingan harga, dapat dikatakan bahwa kebijakan duopoli dalam 3 tahun terakhir masih belum berjalan efektif. Kurang efektifnya pelaksanaan duopoli selama ini terutama disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian peraturan pendukung kompetisi sehingga tidak saja menciptakan kompetisi yang tidak setara tetapi juga telah menimbulkan beberapa tindakan anti-kompetisi. Disamping masalah peraturan, pelaksanaan duopoli juga menghadapi hambatan dari kurang jelasnya pemisahan fungsi dan wewenang antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dengan BRTI sebagai badan regulasi yang bertugas melakukan pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi yang dikompetisikan.

Semasa masih di bawah pembinaan Departemen Penerangan, TVRI dan RRI selalu mendapatkan pembiayaan dari anggaran pemerintah (APBN). Perubahan bentuk yang terjadi secara tiba-tiba tersebut tidak memberikan cukup waktu bagi kedua BUMN untuk melakukan berbagai persiapan termasuk pencarian sumber pendanaan di luar APBN. Hal ini kemudian menyebabkan masih sangat tergantungnya TVRI dan RRI kepada APBN. Kondisi ini secara tidak langsung menghambat berbagai kegiatan pembangunan mengingat ketersediaan APBN yang sangat terbatas sementara kedua BUMN belum mampu mandiri secara finansial. Bercermin dari kondisi tersebut, penyehatan dan pengubahan kelembagaan Persero TVRI dan Perjan RRI menjadi lembaga penyiaran publik sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan tugas sekaligus tantangan bagi pemerintah dalam merestrukturisasi penyelenggaraan penyiaran.

Upaya-upaya tindak lanjut meliputi: (i) pengkajian mendalam mengenai model/struktur industri ketenagalistrikan, (ii) peningkatan dan perbaikan efisiensi teknis dan non-teknis, (iii) upaya pelaksanaan subsidi tepat sasaran dan (iii) melanjutkan upaya akreditasi kelembagaan di sektor ketenagalistrikan.

Pada subsektor pos, pemerintah perlu segera menyelesaikan RUU Pos dan melakukan kajian mengenai tarif.

Sebagai tindak lanjut kebijakan terminasi dini pada subsektor telekomunikasi, pemerintah telah menyepakati besaran dan mekanisme pembayaran kompensasi. Kompensasi sebesar Rp 478 miliar akan dibayarkan oleh pemerintah kepada PT Telkom secara bertahap yang dimulai sejak Tahun Anggaran 2005 melalui mekanisme APBN. Sedangkan kompensasi PT Indosat kepada pemerintah sebesar Rp 178 miliar akan diperhitungkan dari hasil divestasi PT Indosat pada tahun 2002 dengan koordinasi Kementerian BUMN. Pemerintah juga perlu segera menyelesaikan beberapa peraturan lain untuk mendukung penyelenggaraan telekomunikasi dalam lingkungan multi operator, seperti interkoneksi dan penomoran. Disamping itu, pengawasan terhadap pelaksanaan kompetisi itu sendiri juga perlu dilakukan. Dalam rangka restrukturisasi subsektor penyiaran, pemerintah perlu menindaklanjuti UU No. 32 Tahun 2002 dengan menyelesaikan penyusunan peraturan pelaksana UU tersebut dan mempersiapkan tahapan transisi bagi Persero TVRI dan Perjan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang harus sudah terbentuk pada akhir tahun 2005.

Posting Komentar

0 Komentar