Filasafat Ilmu Sebagai Paradigma Ilmu Manajemen

Filasafat Ilmu Sebagai Paradigma Ilmu Manajemen 
Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati oleh berbagai kalangan masyarakat baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang awam. Namun berbagai kalangan tersebut juga belum memiliki “communal opinio” tentang definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen mempunyai beragam konotasi-konotasi yang kadang tidak saling berhubungan, sehingga dapat menyebabkan perbedaan dalam memahami “hewan” manajemen. Kompleksitas yang terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi pada level dialektika, namun yang menjadi problem berat adalah faktor kepentingan praktis yang sering kali mengendalikan peran manajemen sebagai kajian ilmiah yang independen.

Fenomena penting yang dapat kita lihat adalah pada bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diharapkan menjadi “penjaga gawang” dalam kajian ilmiah mengenai manajemen. Namun pada kenyataannya tidak dapat kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik dan materialistik telah memberikan inspirasi dan orientasi yang berbeda dalam mengartikulasikan pendidikan manajemen.

Dewasa  ini di Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dipandang hanya sebagai investasi masa depan daripada untuk kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya dan waktu dianggap sebagai investasi dengan mengharapkan pekerjaan dan pendapatan yang baik sebagai return-nya. Sehingga banyak orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi dengan harapan terjadi “mobilitas vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”.  Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat fenomena pendidikan manajemen sebagai “pasar” yang memiliki permintaan yang sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan berbagai program baik pada strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA dan S3 atau program Doktor. Problemnya adalah pada “nawaitu” atau niatnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Newman dalam bukunya Social  Research Methods(2000) menyebutkan sebagai fenomena pseudoscience yang erat kaitannya dengan ilmu itu sendiri. Pseudoscience merupakan suatu fenomena yang seolah-olah menampakkan dirinya sebagai suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial seperti manajemen), padahal hanya berupa jargon-jargon yang dibumbui dengan berberapa karakteristik yang mirip dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan program gelar berbagai strata yang kadang sesungguhnya tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan bisnis, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen populer yang semata-mata untuk bisnis, penelitian dan telaah ilmiah “semu” yang bertujuan hanya untuk mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, bisnis dan lain-lain dalam berbagai media massa. Hal tersebut semakin diperparah oleh ketidakfahaman masyarakat dan ketiadaan aturan tentang batasan area ilmiah.

PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA
Momentum kemerdekaan di Indonesia seharusnya dapat mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu dalam pendidikan modern yang memberikan harapan dan keberanian kepada bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi serta moralitas bangsa. Namun realitas yang dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi dan juga ratusan ribu sarjana belum mampu melahirkan dan membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia.

Penyebab utama kepincangan dalam kemajuan ilmu pengetahuan adalah terletak pada perlakuan yang tidak “correct” terhadap ilmu pengetahuan di perguruan tinggi pada khususnya, di lingkungan kampus pada umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan tidak “correct” karena di sana ilmu pengetahuan (dalam hal ini secara spesifik ilmu manajemen) dihayati tidak dalam arti yang lengkap, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti produk, ilmu pengetahuan dalam arti sebagai proses dan ilmu pengetahuan dalam arti masyarakat.

Ilmu pengetahuan sebagai produk, adalah pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji ataupun dibantah oleh orang lain. Sehingga suatu fakta ilmiah tidak mungkin bersifat original seperti halnya pada karya seni. Penemuan fakta ilmiah mungkin dapat original, namun bukan untuk fakta ilmiah itu sendiri.

Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan masyarakat yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yang spesifik yang digunakan dalam proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan dalam arti proses (penelitian) diistilahkan sebagai “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai masyarakat adalah suatu dunia pergaulan yang tindak tanduknya, sikap dan perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) dan skeptisisme yang teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas dari warna kulit, agama, keturunan atau dikenal dengan jargon “SARA”, yang ada hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal jika metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental dan rasional yang bekerja menurut “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik masyarakat (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan tertentu. Skeptisisme yang teratur berarti keinginan untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada nalar dan keteraturan dalam berfikir.

Bagaimana dengan perkembangan manajemen dalam setting Indonesia? Dunia barat dikenal dengan perkembangan ilmu manajemen yang berorientasi pada individualisme, kapitalisme dan materialisme yang didukung pengembangan teknologi modern. Bangsa Jepang dengan collectivism mengembangkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen di Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen di Indonesia dapat dikembangkan sebagai ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun sebagai pijakan aksiologi untuk mengembangkan ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Bagaimana pengembangan manajemen sebagai ilmu dalam pendidikan modern yang memberikan harapan dan keberanian kepada bangsa Indonesia untuk memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi serta moralitas bangsa, sehingga melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Secara lebih spesifik problem akan diarahkan pada upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan pada visi dan nilai.

MENGAPA FILSAFAT ILMU
Pembahasan di muka diawali dengan kompleksitas realitas manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi serta tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu dan pendidikan menyebabkan tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu fenomena global perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu muncul sebagai kelanjutan dari filsafat pengetahuan karena perkembangan ilmu cabang yang tumbuh “bagai cendawan di musim hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir sebagai reaksi dan klarifikasi terhadap pertentangan antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menjelaskan bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan. Sesuatu memang tidak pernah akan habis difikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan.

Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga dapat difahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yang satu dengan lainnya, simplifikasi dan artifisialitasnya.

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU
Apakah manajemen dapat dikategorisasi sebagai ilmu (science)? Pada awalnya manajemen berasal dari kata “manage” yang bisanya dihubungkan dengan kemampuan untuk mengurusi rumah tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates pada zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen sebagai suatu keterampilan yang terpisah dari pengetahuan. Hal tersebut tercermin di dalam nasihat Socrates kepada Nichomachides:

 “Aku mengatakan bahwa apapun yang dikepalai seseorang dan ia mengetahui apa yang diperlukan, dan mampu menyediakannya, berarti ia akan menjadi pemimpin yang baik. Oleh karena itu Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yang mahir mengelola rumah tangga; sebab penanganan masalah pribadi dan umum hanya terletak pada luas permasalahannya; dalam hal lain keduanya sama, tetapi yang harus kamu perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa oleh manusia; dan perkara pribadi tidak dikelola oleh satu jenis manusia dan perkara umum oleh jenis manusia lainnya; sebab mereka yang menjalankan perusahaan umum menggunakan manusia yang sama sekali tidak berbeda dengan mereka yang dipekerjakan oleh para manajer dari usaha-usaha pribadi; dan orang yang tahu bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan usaha baik pribadi maupun umum dengan bijaksana, sedangkan orang yang tidak mengetahuinya tidak juga keduanya”. 

Pemahaman Socrates tersebut sejalan dengan penelusuran yang ditulis dalam proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yang dihadiri oleh sejumlah pakar manajemen, ilmuwan sosial, peneliti dan birokrat Indonesia seperti Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen merupakan penggunaan keterampilan, pengetahuan dan ikhtiar sungguh-sungguh untuk mencapai tujuannya, maka manajemen adalah seni (art). Tetapi dengan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam untuk selanjutnya diolah guna perumusan dan pengujian hipotesisnya maka manajemen telah berkembang menjadi ilmu (science).

Dalam artikel  What is a  “science” Bahm menggambarkan secara jelas unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca untuk berfikir secara lebih mendasar mengenai unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai dari permasalahan (problem) yang dihadapi manusia dalam kehidupan sebagai komponen penting science, meskipun tidak semua problem bersifat ilmiah.

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam mengembangkan science. Selain itu juga diuraikan oleh penulisan tentang kontroversi metoda dan peran metoda dalam perkembangan science. Metoda dan sikap bersama-sama mencoba mencari solusi terhadap problem dan mencari kebenaran, kenyataan dan memberi penjelasan ataupun memberikan solusi terhadap permasalahan. Sehingga science akan selalu bergerak dan berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey).

Bahm juga menyampaikan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi dan industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait dengan efek sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sehingga selain memberi manfaat, namun banyak pula menciptakan kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong untuk menambah teknologi dan industri dengan hal yang lebih mendasar, yaitu aspek  aksiologi, etika, religiusitas dan sosiologi.

Bahm tampaknya juga mengajak pembaca untuk lebih dalam memahami science dengan nilai-nilai universalnya. Secara jelas, Bahm menguraikan dan mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan kepada para peneliti untuk menyadari pentingnya unsur-unsur tersebut.

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm juga mengulas secara fenomenal baik terkait dengan masyarakat, proses dan science sebagai produk. Bahm menyampaikan efek science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science tidak bisa lepas dari nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur kemanusiaan.

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen merupakan ilmu menjadi erat hubungannya dengan  semakin canggihnya perubahan, persaingan dan perilaku organisasional yang berkaitan dengan kompleksitas “how to manage” dalam bisnis. Semakin pentingnya manajemen paling tidak terlihat dalam banyak kasus organisasi bisnis dan publik di sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer menjadi dominan dalam keberhasilan organisasi.

Hal yang menarik disampaikan oleh Socrates pada masa lalu bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah manusia dan kelompok manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya muncul interaksi antar manusia dan jika ada kesamaan pandangan dan tujuan, mereka akan membentuk kelompok atau organisasi.

Pada saat ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait dengan lingkungan yang penuh ketidakpastian.   Untuk itu sangat diperlukan pengetahuan tentang prinsip dan teknik dasar manajemen dalam mempraktikkan, menjelaskan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin jelas yaitu efektivitas dan efisiensi manusia sebagai sentral. Jika dibandingkan dengan efisiensi mesin maka efisiensi usaha kelompok manusia masih sangat tertinggal. Hal tersebut disadari oleh banyak ahli manajemen di lapangan seperti Henri Fayol, Barnard dan Alvin Brown bahwa diperlukan konsep manajemen yang jelas dan suatu kerangka teori dan prinsip yang berpautan.

Beberapa pandangan Koontz tentang prinsip, teori dan konsep:
Prinsip adalah kebenaran fundamental, atau apa yang diyakini sebagai kebenran pada waktu tertentu, yang menerangkan dua atau lebih kumpulan variabel.

Teori adalah pengelompokan yang sistematis terhadap prinsip-prinsip yang saling berhubungan sehingga terbentuk kerangka.

Konsep adalah citra mental dari sesuatu yang dibentuk dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya.
Jika pengertian tentang konsep, teori, prinsip dan teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial dan pelatihan para manajer. Tanpa hal tersebut pelatihan para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tersebut mungkin terjadi dan berlangsung sampai ilmu manajemen berkembang secara memadai.

Pada kasus bisnis, pemerintahan dan perusahaan, susunan ilmu manajemen yang cukup kokoh telah terwujud dan banyak membantu merealisasikan sifat manajemen dan menyederhanakan ke dalam pendidikan dan pelatihan manajer. Bahkan muncul suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori dan ilmu dimaksudkan untuk mencari hubungan-hubungan fundamental, dasar-dasar teknik dan susunan pengetahuan yang tersedia yang semuanya seharusnya di dasarkan pada konsep yang jelas.

Dengan demikian diharapkan para praktisi manajemen mengerti dan menggunakan ilmu dan teori yang akan mendasari praktik pekerjaan mereka.

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang karakteristik penting ilmu, maka manajemen sesungguhnya telah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen dapat muncul banyak permasalahan ilmiah seperti bagaimana hubungan antara penetapan tujuan dengan motivasi pada suatu setting tertentu. Untuk mengungkap hal tersebut perlu sikap ilmiah dan metoda ilmiah.

Di mulai dari sebuah keyakinan bahwa ilmu menerangkan fenomena di atas, artinya keyakinan rasionalitas alam memberikan ide bahwa berbagai hubungan dapat ditemukan antara dua rangkaian kejadian atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis diperlukan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah meliputi metoda induktif yang dimulai dari penemuan fakta (fact finding) dan menguji keakuratan fakta sehingga diperoleh proposisi yang jika terus menerus teruji akurat akan mengambangkan teori dan khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya adalah metoda deduktif yang menekankan pada pengujian teori atau proposisi dalam ilmu manajemen.

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi dalam pandangan Bahm dikaitkan dengan nilai-nilai bagi peradaban manusia. Pada perspektif kontemporer keberfihakan manajemen pada nilai-nilai tersebut (aksiologis) tampak pada fenomena etika bisnis dan manajemen yang semakin gencar dewasa ini.

Pada bidang bisnis muncul suatu konsep yang berfihak pada konsumen dan kesejahteraan manusia atau masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang termasuk di dalamnya persoalan lingkungan hidup atau sering dikenal dengan istilah societal marketing concept dan green marketing. Kemudian pada pengelolaan manajemen sumber daya manusia muncul konsep long life employment yang berfihak pada kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan muncul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution kepada semua stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini).

Dikaitkan dengan pandangan Bacharach (1989) yang mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori adalah pernyataan hubungan antara unit-unit yang diobservasi dalam dunia empiris. Teori memiliki dua kriteria meliputi: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori memberikan penjelasan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yang terkait membentuk suatu ilmu.

Dalam penelitian yang dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tersebut banyak digunakan terutama dalam penelitian yang dilakukan positivism, terutama pada bidang behavioral science sebagai bagian penting dalam studi ilmu-ilmu manajemen.

PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN DI INDONESIA
Pada bahasan sebelumnya telah didiskusikan pentingnya filsafat ilmu dalam memberikan dasar dan arah bagi pengembangan ilmu. Di samping itu penulis juga telah mencoba mendiskusikan secara mendasar mengenai manajemen sebagai ilmu. Berdasarkan bahan diskusi di atas maka kita akan dapat membuat sebuah settingpengembangan manajemen di Indonesia.

Dari suatu pembahasan tentang pengaruh budaya dalam perkembangan manajemen di Indonesia yang dilakukan PPM Jakarta (1979) dijelaskan keberadaan tiga terminologi penting yang berkaitan erat dengan upaya pengembangan manajemen Indonesia. Ketiganya meliputi istilah: manajer & pemimpin, organisasi dan budaya serta perilaku organisasional.

Dengan menghubungkan dengan teori kontingensi maka sangat terbuka kesempatan bagi kita untuk mengembangkan sebuah konsep manajemen Indonesia. Teori ini sesungguhnya berpusat pada kombinasi tingkat diferensiasi dan integrasi dalam organisasi menghadapi kebutuhan yang timbul dari lingkungan. Perubahan dalam lingkungan akan bergerak cepat sehingga menuntut organisasi menciptakan level diferensiasi yang dapat selaras dengan perubahan lingkungan. Artinya dalam praktik organisasi tidak hanya bersandar pada gaya internal organisasi tetapi terkait erat dengan sistem nilai lingkungan budaya yang melingkupinya.

Dalam kaitannya dengan kriteria keilmuan maka manajemen di Indonesia juga harus memiliki unsur-unsur yang universal dengan membuka diri untuk menerima dan mengembangkan unsur-unsur tersebut, meskipun demikian kita tetap harus bersikap selektif. Pada sisi yang lain, proses operasional manajemen akan sangat dipengaruhi oleh nilai budaya, manusia, masyarakat dan pengalaman sejarah suatu bangsa serta visi bangsa.

Dalam setting Indonesia, secara normatif kita mempunyai Pancasila sebagai nilai-nilai budaya dan cita-cita yang merefleksikan keberagaman nilai-nilai budaya dan bukan keseragaman. Sehingga pendekatan kontingensi akan berperan dalam menjelaskan bahwa teori dan ilmu manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara terbaik”. Keefektifan manajemen selalu bersifat kontingensi, dalam hal ini terkait dengan tatanan nilai luhur yang berkembang di sana. Di samping itu dengan pendekatan sistem, praktisi, manajer dan para ilmuwan harus mempertimbangkan sejumlah besar variabel yang berpengaruh dan berinteraksi dalam pekerjaan manajerial.

Penulis berpendapat terdapat beberapa hal yang dapat kita gali dari nilai budaya bangsa yang terefleksikan pada semangat Pancasila seperti:
  1. Nilai-nilai spiritual keagamaan dan etika yang menjadi orientasi, filosofi dan tujuan kita dalam aktivitas manajerial.
  2. Mengembangkan rasa kemanusiaan dalam aktifitas manajemen dan bisnis.
  3. Mengembangkan semangat kolektif dalam pencapaian tujuan dengan kesadaran bahwa diversitas sebagai kekuatan.
  4. Semangat untuk berorietasi pada kesejahteraan organisasi dan masyarakat dengan prinsip win-win solution.
  5. Mengembangkan nilai keadilan kepada segenap stakeholders.

 

PENDIDIKAN SEBAGAI METODA PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA

Bagaimana pendidikan manajemen di Indonesia pada satu sisi menghadapi perubahan bisnis yang dahsyat dan pada sisi yang lain mengembangkan manajemen Indonesia? Jawabannya justru pendekatan yang pengembangan manajemen Indonesia akan menjawab secara komprehensif dan mendasar. Ada beberapa isu penting terkait dengan pendidikan manajemen, yaitu: relevansi kurikulum, pengembangan metoda pengajaran, rekonsiliasi riset dan praktik manajemen dan kemitraan dengan dunia bisnis (Handoko, 2002).

Pada sisi lain secara makro dan lebih mendasar lagi adalah political will pemerintah terhadap pendidikan dan kebudayaan. Secara operasional tercermin melalui alokasi RAPBN bagi pendidikan dan kebudayaan serta implementasi hukum terhadap pendidikan yang illegal ataupun yang tidak bertanggung jawab terhadap konsumen dan masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar