Pengertian Dan Sejarah Bangsa dan Negara

Pengertian Dan Sejarah Bangsa dan Negara 
Bangsa dan negara memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain. Menurut Ernest Renan, seorang guru besar Universitas Sorbone bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orangorang yang saling merasa setia kawan dengan satu sama lain. Nation adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual. Ia adalah suatu kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh orang-orang yang bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nation mempunyai masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang jelas: yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama. Oleh sebab itu suatu nasion tidak tergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang sejenis. Akan tetapi kehadiran suatu nasion adalah seolah-olah suatu kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari (Bachtiar, 1987: 23).

Benedict Anderson merumuskan bangsa secara unik. Menurut pengamatannya, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (Imagined Political Community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak kenal satu sama lain. Dibayangkan secara terbatas karena bangsa yang paling besar sekalipun yang penduduknya ratusan juta mempunyai batas wilayah yang jelas. Dibayangkan berdaulat karena bangsa ini berada di bawah suatu negara mempunyai kekuasaan atas seluruh wilayah dan bangsa tersebut. 

Akhirnya bangsa disebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena terlepas adanya kesenjangan, para anggota bangsa itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan itu (Surbakti, 1992: 42).

Merujuk pendapat Anderson di atas, penciptaan solidaritas nasional digambarkan sebagai proses pengembangan imaginasi di kalangan anggota masyarakat tentang komunitas mereka, sehingga orang Aceh yang tidak pernah berkunjung ke Jawa Tengah dan tidak pernah bertemu dengan orang Jawa Tengah bisa mengembangkan kesetiakawanan terhadap sesama anggota komunitas Indonesia itu.

Pengertian bangsa mengandung elemen pokok berupa jiwa, kehendak, perasaan, pikiran, semangat, yang bersama-sama membentuk kesatuan, kebulatan dan ketunggalan serta semuanya itu yang dimaksud adalah aspek kerohaniannya. Bangsa, bukanlah kenyataan yang bersifat lahiriah, melainkan bercorak rohaniah, yang adanya hanya dapat disimpulkan berdasarkan pernyataan senasib sepenangungan dan kemauan membentuk kolektivitas.

Munculnya negara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, di mana sebagai makhluk sosial manusia memiliki dorongan untuk hidup bersama dengan manusia lain, berkelompok dan bekerjasama. Karena itulah dalam masyarakat dijumpai berbagai-bagai macam organisasi, dari organisasi politilik, organisasi sosial, organisasi profesi, organisasi keagamaan, dan sebagainya. Salah satu bentuk organisasi dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi yang dinamakan negara. Namun perlu dinyatakan bahwa organisasi yang dinamakan negara ini memiliki karakteristik atau sifat-sifat yang khusus yang membedakan dengan organisasi-organisasi lainnya. 

Menurut O. Hood Phillips, dkk. Negara atau state adalah “An independent political society occupying a defined territory, the member of which are united together for the purpose of resisting external force and the preservation of internal order” (Asshiddiqie, 2010: 9). Dengan ungkapan lain dapat dinyatakan bahwa negara adalah masyarakat politik independen yang menempati wilayah tertentu, dan yang anggotanya bersatu dengan tujuan untuk menghadapi tantangan atau kekuatan dari luar dan mempertahankan tatanan internal. (terjemahan penulis). Dalam tataran yang lebih filosofis Hans Kelsen (Asshiddiqie, 2010: 10) dalam bukunya General Theory of Law and State memandang negara sebagai entitas yuridis (state as a juristik entity) dan negara sebagai masyarakat yang terorganisasikan secara politis (politically organized society).

Menurut Wirjono Prodjodikoro (1983:2), negara adalah suatu organisasi di antara kelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.

Pendapat lain dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, yang menyatakan bahwa negara adalah organisasi masyarakat yang bertujuan mengatur dan memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya. 

Sedangkan menurut Soenarko negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souverein. (Lubis, 1982: 26). 

Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa negara adalah organisasi masyarakat yang memiliki wilayah tertentu dan berada di bawah pemerintahan yang berdaulat yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Negara merupakan konstruksi yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur pola hubungan antar manusia dalam kehidupan masyarakat. 

Unsur-unsur Negara
Dengan memperhatikan pengertian negara sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pemikir kenegaraan di atas, dapat dikatakan bahwa negara memiliki 3 (tiga) unsur yaitu:

a. Rakyat
Rakyat suatu negara dapat dibedakan antara penduduk dan bukan penduduk. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal menetap atau berdomisili di suatu negara. Kalau seseorang dikatakan bertempat tinggal menetap di suatu negara berarti sulit untuk dikatakan sampai kapan tempat tinggal itu. Sedangkan yang bukan penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu negara hanya untuk sementara waktu, dan bukan dalam maksud untuk menetap. Penduduk yang merupakan anggota yang sah dan resmi dari suatu negara dan dapat diatur sepenuhnya oleh pemerintah negara yang bersangkutan dinamakan warga negara. 

Sedangkan di luar itu semua dinamakan orang asing atau warga negara asing. Warga negara yang lebih erat hubungannya dengan bangsa di negara itu disebut warga negara asli, yang dibedakan pengertiannya dengan warga negara keturunan. 

Pembedaan rakyat negara sebagaimana dikemukakan di atas, secara skematis dapat disajikan sebagai berikut:

Perbedaan antara penduduk dan bukan penduduk, warga negara dan bukan warga negara terkait dengan perbedaan hak dan kewajiban di antara orangorang yang berada di wilayah negara. Di antara status orang-orang dalam negara tentunya status yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah negara yang bersangkutan adalah status warga negara.

Status kewarganegaraan suatu negara akan berimplikasi sebagai berikut (Samekto dan Kridalaksana, 2008:59):
a) Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri merupakan hak kewarganegaraan. Suatu negara berhak melindungi warganya di luar negeri;
b) Kewarganegaraan menuntut kesetiaan, 
c) Suatu negara berhak untuk menolak mengekstradisi warga negaranya kepada negara lain;
d) Berdasarkan praktek, secara garis besar kewarganegaraan seseorang dapat diperoleh:
1) Berdasarkan kewarganegaraan orang tua (Ius Sanguinis);
2) Berdasarkan tempat kelahiran (Ius Soli);
3) Berdasarkan asas Ius Sanguinis dan Ius Soli.

b. Wilayah dengan Batas-batas Tertentu
Wilayah suatu negara pada umumnya meliputi wilayah darat, wilayah laut, dan wilayah udara. Walaupun ada negara tertentu yang karena letaknya di tengah benua sehingga tidak memiliki wilayah laut, seperti Afganistan, Mongolia, Austria, Hungaria, Zambia, Bolivia, dan sebagainya. 

Di samping wilayah darat, laut, dan udara dengan batas-batas tertentu, ada juga wilayah yang disebut ekstra teritorial. Yang termasuk wilayah ekstra teritorial adalah kapal di bawah bendera suatu negara dan kantor perwakilan diplomatik suatu negara di negara lain. 

Batas wilayah negara Indonesia ditetapkan dalam perjanjian dengan negara lain yang berbatasan. Batas wilayah negara Indonesia ditentukan dalam beberapa perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh pemerintah Belanda dengan beberapa negara lain. Berdasarkan pasal 5 Persetujuan perpindahan yang ditetapkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), perjanjian-perjanjian internasional itu sekarang berlaku juga bagi negara Indonesia. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah Konvensi London 1814 di mana Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda, dan beberapa traktat lainnya berkenaan dengan wilayah negara (Utrecht, 1966: 308). 

Berkenaan dengan wilayah perairan ada 3 (tiga) batas wilayah laut Indonesia. Batas- batas tersebut adalah: 

a) Batas Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang merupakan bagian wilayah suatu negara dan berada di bawah kedaulatan negara yang bersangkutan. Batas laut teritorial tersebut semula diumumkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Sesuai pengumuman tersebut, batas laut territorial Indonesia adalah 12 mil yang dihitung dari garis dasar, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, di mana jarak dari satu titik ke titik lain yang dihubungkan tidak boleh lebih dari 200 mil. Pokok-pokok azas negara kepulauan sebagaimana termuat dalam deklarasi diakui dan dicantumkan dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU. No. 17 tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. 

b) Batas Landas Kontinen 
Landas kontinen (continental shelf) adalah dasar lautan, baik dari segi geologi maupun segi morfologi merupakan kelanjutan dari kontinen atau benuanya. Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 meter, yang memuat pokok-pokok sebagai berikut:
1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Republik Indonesia; 
2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan;
3) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dan titik terluar wilayah negara tetangga;
4) Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan di atas landas kontinen serta udara di atas perairan itu. 

Batas landas kontinen dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi paling jauh 200 mil. Kalau ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landas kontinen, maka batas landas kontinen negara-negara itu ditarik sama jauhnya dari garis dasar masing-masing. Sebagai contoh adalah batas landas kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sebelah selatan. 

Kewenangan atau hak suatu negara dalam landas kontinen adalah kewenangan atau hak untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di dalam dan di bawah wilayah landas kontinen tersebut. 

c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah Indonesia mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengumuman pemerintah ini kemudian disahkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1983. Batas ZEE adalah 200 mil dari garis dasar ke arah laut bebas. Kewenangan negara di wilayah ZEE adalah kewenangan memenfaatkan sumber daya, baik di laut maupun di bawah dasar laut. Dalam Konperensi Hukum laut tercapai kesepakatan bahwa di ZEE ini negara tidak memiliki kedaulatan penuh tetapi memiliki hak dan yurisdiksi terbatas pada bidang-bidang tertentu. 

Dalam pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 ditentukan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam hayati dan non hayati, dan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti pembuatan energi arus dan angin. 

Sedangkan kewajiban negara di kawasan ZEE merupakan kewajiban yang berkaitan dengan status ZEE sebagai perairan laut lepas, di mana negara pantai tidak boleh menghalangi kebebasan berlayar, penerbangan di atas ZEE, dan pemasangan kabel-kabel di bawah laut. 

Negara pantai juga berkewajiban melakukan konservasi kekayaan laut, yaitu menjaga keseimbangan hidup sumber daya yang ada di laut. Sedangkan wilayah udara suatu negara meliputi wilayah udara yang berada di atas wilayah laut dan wilayah perairan negara yang bersangkutan. Berkaitan dengan pemanfaatan ruang udara khususnya penerbangan, oleh masyarakat internasional telah disusun perjanjian internasional utama yaitu Convention on International Civil Aviation 1944 atau secara singkat dikenal sebagai Konvensi Chicago 1944. Perjanjian internasional yang diprakarsai Amerika Serikat ini bersifat publik dan mengatur kepentingan umum yang merupakan tanggungjawab pemerintah dalam kegiatan penerbangan sipil internasional.

c. Pemerintah yang Berdaulat
Kata “kedaulatan” artinya adalah kekuasaan tertinggi. Dengan demikian pemerintah yang berdaulat artinya pemerintah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, kekuasaan yang tidak berada di bawah kekuasaan lainnya. Kedaulatan negara dapat diartikan sebagai kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur rakyatnya sendiri. Sedangkan kedaulatan ke luar adalah kekuasaan tertinggi yang harus dihormati oleh negara-negara lain. Dengan kedaulatannya pemerintah berhak mengatur negaranya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. 

Menurut Jean Bodin (Samekto dan Kridalaksana, 2008: 33) kedaulatan sebagai atribut negara merupakan ciri khusus dari sebuah negara. Kedaulatan merupakan kekuasaan yang mutlak dan abadi, tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Menurutnya tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan negara. Kedaulatan membawakan sifat-sifat:
1) Asli, dalam arti tidak diturunkan dari kekuasaan yang lain;
2) Tertinggi, dalam arti tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kedaulatan;
3) Abadi atau kekal, dalam arti keberadaannya tetap;
4) Tidak dapat dibagi, dalam arti hanya ada satu kekuasaan teringgi saja dalam negara.

Dengan ungkapan lain ada yang menyatakan bahwa kedaulatan itu membawakan sifat permanen, asli, tidak dapat dibagi-bagi, dan tidak terbatas. 

3. Sifat-sifat Negara
Umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa negara memiliki sifat memaksa, monopoli, dan mencakup semua. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan sifat-sifat tersebut.

a.Sifat Memaksa
Negara memiliki sifat memaksa artinya bahwa negara memiliki hak atau kewenangan untuk memaksakan berbagai peraturan yang dibuatnya untuk ditaati oleh seluruh warganya. Untuk memaksakan berbagai peraturan yang dibuatnya pemerintah negara memiliki sarana seperti tentara, polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya. 

b. Sifat Monopoli
Negara juga membawakan sifat monopoli, yaitu sifat yangmenunjukkan adanya hak atau kewenangan negara untuk mengelola atau menentukan sesuatu tindakan tanpa adanya hak atau kewenangan yang sama di pihak lain. Sifat monopoli yang dimiliki oleh negara menyangkut beberapa hal. Negara memiliki hak monopoli untuk menentukan tujuan dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Di Indonesia misalnya tujuan masyarakat itu adalah sebagaimana dirumuskan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. 

Sebagai konsekuensinya negara berhak untuk melarang berkembangnya faham atau aliran yang dianggap mengganggu pencapaian tujuan yang dimaksudkan. Negara juga memiliki hak monopoli pengelolaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup masyarakat. Hak monopoli yang lain adalah monopoli pengelolaan sarana kekerasan untuk kepentingan negara. 

c.Sifat Mencakup Semua 
Dengan sifat ini maksudnya bahwa kekuasaan negara berlaku bagi semua orang di wilayah negara yang bersangkutan. Tidak ada warga masyarakat yang dapat mengecualikan dirinya dari pengaruh kekuasaan negara. Berkenaan dengan itu bahwa peraturan yang dibuat oleh negara pada prinsipnya berlaku bagi setiap orang di wilayah negara itu tanpa kecuali. Ketika peraturan sudah dibuat atau ditetapkan, semua orang dianggap tahu dan harus mentaatinya. Siapapun yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Menjadi warga negara bukanlah sesuatu yang berdasarkan pada kemauan sendiri (involuntary membership), dan di sinilah letak perbedaan antara keanggotaan suatu negara dengan keanggotaan pada asosiasi atau organisasi lain yang sifatnya sukarela. (Budiardjo, 2010:50).

4. Tujuan dan Fungsi Negara
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan setiap negara adalah mewujudkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Walaupun kenyataan juga menunjukkan adanya pemerintah yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri. Di sinilah perlunya dibedakan antara negara 

sebagai sebuah organisasi yang lebih netral pengertiannya, dengan pemerintah sebagai penyelenggara organisasi negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya tidak lepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan golongan, kepentingan kelompok, bahkan juga kepentingan pribadi, di samping kepentingan bangsa dan negara yang semestinya diutamakan. 

Menurut Roger H. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya “berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin” (the freest possible development and creative self-expression of its member). Sedangkan menurut Harold J. Laski tujuan negara adalah “menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai keinginan-keinginan secara maksimal” (creation of those conditions under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their desires) (Budiardjo, 2010:54). 

Tujuan negara Indonesia sesuai dengan Alinea IV Pembukaan UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara tersebut hendak diwujudkan di atas landasan Ketuhanan yang Maha Esa; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Namun setiap negara, apapun ideologi yang dianutnya menyelenggarakan fungsi minimum yang mutlak sifatnya, yaitu (Budiardjo, 2010:55) :
a. Melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai tujuan bersama, negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. 
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru di mana tingkat kesejahteraan masyarakat masih sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah;
c. Pertahanan. Fungsi ini untuk mempertahankan negara dari kemungkinan serangan dari luar, sehingga negara harus dilengkapi dengan alat-alat pertahanan;
d. Menegakkan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan negara memiliki badan-badan peradilan. 

Sedangkan menurut Charles E. Meriam, fungsi yang harus dijalankan oleh negara meliputi:
a. Fungsi keamanan ekstern;
b. Fungsi ketertiban intern;
c. Fungsi keadilan;
d. Fungsi kesejahteraan umum;
e. Fungsi kebebasan. 

Atas dasar pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa secara garis besar fungsi yang harus dijalankan oleh negara meliputi: 
a. Mengupayakan kesejahteraan warganya agar dapat menikmati kehidupan yang layak;
b. Meningkatkan kecerdasan dan membina budi pekerti warganya;
c. Menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat; 
d. Mempertahankan negara dari gangguan eksternal; serta
e. Mewujudkan keadilan bagi masyarakat. 

Fungsi-fungsi tersebut harus diselenggarakan oleh negara yang dalam hal ini adalah pemerintah negara yang bersangkutan agar tujuan negara tersebut dapat diwujudkan. 

Konstitusi
1. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Kata ‘konstitusi” yang berarti pembentukan, berasal dari kata “constituer” (Perancis) yang berarti membentuk. Sedangkan istilah “undang-undang dasar” merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “grondwet”. “Grond” berarti dasar, dan “wet” berarti undang-undang. Jadi 

Grondwet sama dengan undang-undang dasar. Namun dalam kepustakaan Belanda dikenal pula istilah “constitutie” yang artinya juga undangundang dasar. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia juga dijumpai istilah “hukum dasar”. Hukum memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan undang-undang. Kaidah hukum bisa tertulis dan bisa tidak tertulis, sedangkan undang-undang menunjuk pada aturan hukum yang tertulis. 

Atas dasar pemahaman tersebut, konstitusi disamakan pengertiannya dengan hukum dasar, yang berarti sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu naskah/dokumen. Dengan demikian undang-undang dasar merupakan bagian dari konstitusi. Sedangkan di samping undang-undang masih ada bagian lain dari hukum dasar yakni yang sifatnya tidak tertulis, dan biasa disebut dengan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi ini merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara walaupun tidak tertulis. 

Berikut ini pengertian yang menggambarkan perbedaan antara undang-undang dasar dan konstitusi. Bahwa undang-undang dasar adalah suatu kitab atau dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Sedangkan konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar, yang sifatnya tertulis maupun tidak tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. (Soehino, 1985:182). 

Menurut James Bryce, konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. (Stong, 2008:15). Dengan demikian konstitusi merupakan kerangka kehidupan negara yang diatur dengan ketentuan hukum.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa konstitusi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit. 

Namun hampir semua negara di dunia memberi arti konstitusi dalam pengertian yang sempit, kecuali di Inggris. (Martosoewignjo, 1981:62). Dalam pengertian yang sempit konstitusi hanya mengacu pada ketentuan-ketentuan dasar yang tertuang dalam dokumen tertulis yaitu undang-undang dasar, sehingga muncul sebutan seperti, Konstitusi Amerika Serikat, Konstitusi Perancis, Konstitusi Swiss, dan sebagainya. 

Sedangkan dalam pengertian yang luas, konstitusi juga mencakup kebiasaan ketatanegaraan sebagai suatu kaidah yang sifatnya tidak tertulis. Jadi ketika istilah “konstitusi” disamakan pengertiannya dengan “undang-undang dasar”, istilah tersebut hendaknya dipahami dalam pengertian yang sempit. 

2. Unsur-unsur yang Terdapat dalam Konstitusi 
Undang-undang dasar atau konstitusi negara tidak hanya berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah, akan tetapi juga menggambarkan struktur pemerintahan suatu negara. Menurut Savornin Lohman ada 3 (tiga) unsur yang terdapat dalam konstitusi yaitu:
a. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial), sehingga menurut pengertian ini, konstitusikonstitusi yang ada merupakan hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
b. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia, berarti perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya maupun alat-alat pemerintahannya.

c. Konstitusi sebagai forma regimenis, yaitu kerangka bangunan pemerintahan. (Lubis, 1982:48)
Pendapat lain dikemukakan oleh Sri Sumantri, yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara,
b. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar,
c. Pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. (Chaidir, 2007:38).

Menurut CF. Strong, konstitusi memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Cara pengaturan berbagai jenis institusi;
b. Jenis kekuasaan yang diberikan kepada institusi-institusi tersebut;
c. Dengan cara bagaimana kekuasaan tersebut dilaksanakan. (Stong, 2008:16).

Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, dapat dekemukakan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam konstitusi modern meliputi ketentuan tentang: 
a. Struktur organisasi negara dengan lembaga-lembaga negara di dalamnya; 
b. Tugas/wewenang masing-masing lembaga negara dan hubungan tata kerja antara satu lembaga dengan lembaga lainnya;
c. Jaminan hak asasi manusia dan warga negara.

3. Perubahan Konstitusi 
Betapapun sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat konstitusi itu bisa ketinggalan jaman atau tidak sesuai lagi dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Karena itulah perubahan atau amandemen konstitusi merupakan sesuatu hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Yang penting bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam arti yang sebenarnya, dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari golongan atau kelompok tertentu. 

Secara teoritik perubahan undang-undang dasar dapat terjadi melalui berbagai cara. CF. Strong menyebutkan 4 (empat) macam cara perubahan terhadap undang-undang dasar, yaitu:
a. oleh kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu,
b. oleh rakyat melalui referendum,
c. oleh sejumlah negara bagian- khususnya untuk negara serikat,
d. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk untuk keperluan perubahan. 

Sedangkan KC. Wheare (2010) mengemukakan bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu:
a. perubahan resmi,
b. penafsiran hakim,
c. kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.

Tentang perubahan terhadap UUD 1945, sesuai pasal 37 ketentuan tentang perubahan itu adalah sebagai berikut:
a. Usul perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. 
c. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
d. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
e. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. 
Sejak memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang keberadaan UUD 1945, yang sangat berbeda dengan pemikiran yang ada sebelumnya. Secara garis besar arus pemikiran tersebut dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang timbulnya penafsiran ganda. 
Kedua, bahwa UUD 1945 membawakan sifat executive heavy, yakni memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, sehingga kekuasaan yang lain yaitu legislative dan yudikatif seakan-akan tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif. 
Ketiga, sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas di antara sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer, sehingga ada yang menyebutnya sebagai sistem quasi presidensiil. 
Keempat, perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, agar daerah dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing-masing. 
Kelima, rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam UUD 1945 dirasa kurang memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara seiring dengan perkembangan global. 

Arus pemikian sebagaimana dikemukakan di atas kemudian mewarnai perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Dengan demikian amandemen terhadap UUD 1945 pada prinsipnya mengarah pada perubahan untuk menjawab persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas.

Posting Komentar

0 Komentar