Pengertian “Lemnbaga” Atau “Kelembagaan”

Pengertian “Lemnbaga” Atau “Kelembagaan” 
Meskipun banyak ditemui pemberian batasan yang tumpang tindih antar penulis, namun tampak bahwa istilah kelembagaan memberi tekanan kepada lima hal berikut. Pertama, kelembagaan berkenaan dengan seuatu yang permanen. Ia menjadi permanen, karena dipandang rasional dan disadari kebutuhannya dalam kehidupan. Cooley (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 75) secara sederhana menyimpulkan bahwa:. “….institution defined as established norm or procedures. It is sometime the practice to refer to anything which is socially established as an institution”. Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap tersebut berada dalam suatu kelembagaan. Sejalan dengan itu, Uphoff juga menyatakan bahwa kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang telah berjalan lama. Namun, Uphoff tidak menyebut sesuatu yang bersifat tetap tersebut norm dan procedurs, tapi norm dan behaviour. “In general, institutions, are complexes of norm and behaviour that persist over time by serving colletively valued purpose” (Uphoff, 1986: 9).

Meskipun dalam batasan Uphoff ‘norma’ dan ‘perilaku’ merupakan dua hal pokok dan berada dalam satu kalimat, namun keduanya bukanlah sesuatu yang selevel. Atau, bukan dua hal yang dapat dipisahkan saja dengan mudah begitu saja. Menurut struktur peristilahan, ‘perilaku’ diturunkan dari ‘norma’, sehingga norma berada di level yang lebih tinggi. Dalam batasan Johnson (1960: 48), perilaku selain dipengaruhi oleh apa yang disebutnya dengan culture, “…….. also chemical, physical, genetic, and physiological”. Sesuatu yang tetap tersebut berguna untuk menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku. Selain itu, aspek yang tetap tersebut menjamin situasi akan berulang atau dapat diperkirakan (predictable), sehingga perilaku tersebut menjadi efektif. Perilaku yang teratur dan predictable merupakan hal yang penting dalam masayarakat sehingga menjadi teratur, bukan perilaku yang spontan dan unpredictable.

Kedua, berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku. Sesuatu yang abstrak tersebut merupakan suatu kompleks beberapa hal yang sesungguhnya terdiri dari beberapa bentuk yang tidak selevel. Hal yang abstrak ini kira-kira sama dengan apa yang disebut Cooley dengan public mind, atau ‘wujud ideel kebudayaan’ oleh Koentjaraningrat, atau cultural menurut Johnson. Secara garis besar, hal yang dimaksud terdiri dari nilai, norma, hukum, peraturan-peraturan, pengetahuan, ide-ide, belief, dan moral.

Kumpulan dari hal-hal yang abstrak tersebut, terutama norma sosial, diciptakan untuk melaksanakan fungsi masyarakat (Taneko, 1993). Fungsi-fungsi yang dimaksud merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Karena tingkat kepentingannya yang tinggi, maka seiring berjalannya waktu, akhirnya ia mempunyai kedudukan pasti, atau terkristalisasi menjadi semakin tegas. Sebagaimana juga ditambahkan W. Hamilton (dalam Johnoson, 1960: 22): “Social institution …. a complex normative pattern that is widely accepted as binding in particular society or part of a society”.

Bahwa kelembagaan lebih fokus kepada aspek kultural, juga merupakan kerangka berpikir Gillin dan Gillin. Ia mendefinisikan kelembagaan dalam cultural concept sebagai: “A Social institution is a functional configuration of cultural patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural aquipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social need” (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67).

Ketiga, berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat mores (tata kelakuan), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of behaving). Perilaku yang terpola merupakan kunci keteraturan hidup. Sebagaimana menurut Hebding et al. (1994), institusi sosial merupakan sesuatu yang selalu ada pada semua masyarakat, karena berguna untuk mempertemukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dinilai penting. Jika masyarakat ingin survive, maka insitusi sosial harus ada. Keluarga misalnya, merupakan institusi sosial pokok yang mempertemukan kebutuhan sosial yang dinilia vital.

Koentjaraningrat juga termasuk salah satu penulis yang lebih menekankan kepada aspek perilaku. Ia menggunakan kata “pranata” sebagai padanan kata “institution”, dan pranata sosial untuk “social institution”. Pranata diartikannya sebagai kelakukan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Sedangkan, pranata sosial diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplkes kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1964: 113). Jelas terlihat bahwa definisi ini lebih menekankan kepada aspek tata kelakuan yang memiliki fungsi-fungsi khusus dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Meskipun aspek ‘perilaku’ merupakan inti kajian pranata, namun Koentjaraningrat menyatakan bahwa terwujudnya suatu pranata berada dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideel kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakukan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, maka pranata terdiri dari empat komponen tersebut yang saling berinteraksi satu sama lain.

Keempat, kelembagaan juga menekankan kepada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi. Untuk penjelasan ini dinyatakan oleh E. Chinoy bahwa: “An institution is an organization of conceptual and behaviour pattern in manifested through social activity and its material products. Thus it may be regarded as a ‘cluster of social usages’ and as composed of custom, folkways, mores, and trait complexes organized, consciously or unconsciously, into a functioning unit” (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 68).

Kelima, kelembagaan merupakan cara-cara yang standar untuk memecahkan masalah. Tekananya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan asalah. Hebding et al. (1994: 407) menyatakan bahwa institusi sosial adalah nilai-nilai yang melekat pada masyarakat yang menyediakan stabilitas dan konsistensi di masyarakat, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur perilaku. Menjamin sistuasi akan berulang, sehingga menjadi efektif. Efektifitas merupakan perhatian utama dalam apa yang dikenal dengan pemahaman “ekonomi kelembagaan”.

Dari kelima tekanan pengertian di atas terlihat bahwa ‘kelembagaan’ memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola yang sebagian besar datang norma-norma yang dianut. Kelembagaan berpusat pada sekitar tujuan-tujuan, nilai atau kebutuhan sosial utama. Lebih jauh, kelembagaan merefer kepada suatu prosedur, suatu kepastian, dan panduan untuk melakukan sesuatu.

Posting Komentar

0 Komentar