Periklanan dalam Cause-Related Marketing

Periklanan dalam Cause-Related Marketing 
Menurut Belch dan Belch (2004), iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Posisi strategis iklan korporat dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Seluruh iklan tersebut diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan produk, apalagi membujuk orang untuk membeli, tetapi arahnya sebagai alat kehumasan (public relations). Iklan dilakukan untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, iklan korporat terkadang digunakan untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif dan para profesional, atau khalayak spesifik. 

Salah satu metode dalam pemasaraan yang saat ini cukup populer di dunia adalah cause-related marketing yang membangun merek dengan membuat suatu hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal. Gaya pemasaran yang berdimensi sosial dan empatik dapat melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar mengeluarkan uang untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk membantu memecahkan problema sosial. 

Beberapa promosi cause-related marketing bukan saja membebaskan perusahaan untuk menyediakan dana promosi tambahan, tetapi malah meraup dana melalui konsumen. Dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah alat kehumasan yang peduli. Keuntungan perusahaan diperoleh dari publisitas isu sosial yang membutuhkan donasi amal yang cukup besar. Gaya promosi simpatik semacam ini banyak diterapkan pada era tahun 2000-an Sejak tahun 1990, investasi promosi yang ditanamkan perusahaan dalam program cause-related marketing terus meningkat sebesar 300%, mencapai $ 828 juta di tahun 2002 (Kotler dan Lee, 2005).

Keterlibatan Konsumen dalam Produk (Consumer Product Involvement) 
Berdasarkan Traylor (1981), keterlibatan produk didefinisikan sebagai derajat tingkat kepentingan seorang konsumen untuk membeli suatu produk, sedangkan keterlibatan konsumen dalam produk didefinisikan sebagai kepentingan personal yang terlibat dengan kategori dari produk. Dimensi dari keterlibatan menurut Quester dan Lim (2003) terdiri atas:

1. Interest (keinginan)
Interest adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan memiliki nilai yang penting. Elemen interest adalah kepentingan pada produk, keinginan pada produk dan permasalahan pada produk.

2. Pleasure (kesenangan)
Pleasure adalah nilai hedonis dari produk yang memiliki kemampuan untuk menyediakan kenyamanan dan kesenangan. Elemen dari pleasure adalah kesenangan ketika membeli produk dan kesenangan memiliki produk.

3. Sign (tanda)
Sign adalah nilai produk yang diekspresikan oleh seseorang. Elemen sign berupa personifikasi konsumen dalam memilih produk.

4. Risk Importance (resiko penting)
Risk importance adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang diasosiasikan pada pilihan produk buruk. Elemen risk importance terdiri dari nilai penting ketika melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai penting ketika produk tidak nyaman dan ketika membuat kesalahan pilihan.

5. Risk Probability (resiko kemungkinan) 
Risk probability adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk. Elemen risk probability adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian dalam mengambil produk dan kerumitan dalam mengambil keputusan.

Quester dan Lim (2003) mengungkapkan bahwa produk dengan keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi kepuasan (sign) dapat memiliki produk sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat pilihan (risk importance) dan mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi pada produk. 

Menurut Assael (1998), definisi kognitif dari loyalitas merek menunjukkan loyalitas merepresentasikan komitmen serta keterlibatan konsumen dalam produk. Loyalitas terhadap merek akan tinggi ketika konsumen secara personal terlibat dengan merek dan melakukan pembelian. Hal ini menunjukkan keterlibatan produk tinggi, sehingga merek merupakan sumber identifikasi diri. Contoh produk dengan keterlibatan tinggi adalah telepon genggam, kosmetik, sepatu dan rokok. Apabila konsumen dalam membeli produk tanpa komitmen, maka keterlibatan konsumen pada produk rendah. Konsumen tidak memiliki opini yang kuat terhadap merek produk. Contoh produk dengan keterlibatan produk rendah adalah sabun, bolpen, dan sikat gigi.

Pembuatan keputusan konsumen tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan tingkat keterlibatan konsumen. Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi spesifik. Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi konsumen yang pada akhirnya menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.

Assael (1992) menyatakan terdapat dua tipe keterlibatan konsumen yaitu keterlibatan situasional (situational involvement) dan keterlibatan tahan lama (enduring involvement). Keterlibatan situasional hanya terjadi seketika pada situasi khusus dan temporer sifatnya. Keterlibatan situasional tercipta dari simbol-simbol nilai kelompok rujukan pada suatu produk (bedge value) serta adanya resiko pembelian. Konsumen akan terlibat secara situasional pada produk-produk yang ada hubungannya dengan simbol-simbol dan nilai-nilai kelompok rujukan. Keterlibatan situasional disebabkan oleh adanya resiko dalam pembelian, karena konsumen merasakan adanya ketidakpastian mengenai keputusan pembelian serta adanya akibat buruk yang potensial dari pembuatan keputusan. 

Tipe keterlibatan tahan lama (enduring involvement) berlangsung lebih lama dan lebih permanen sifatnya, artinya tingkat keterlibatan konsumen terhadap suatu merek produk lebih memperhatikan resiko sosial yang mungkin diterima oleh konsumen. Keterlibatan tahan lama mendorong keputusan pembelian yang penuh pertimbangan, informasi alternatif banyak dikumpulkan, dan evaluasi alternatif pun dilakukan namun lebih cenderung loyal di kemudian hari. Informasi alternatif tidak banyak dikumpulkan dari kehadiran keterlibatan situasional. Keterlibatan situasional dapat berangsur menjadi keterlibatan permanen bila ternyata pembeliannya yang tiba-tiba tersebut memenuhi kebutuhan dan keingianannya yang telah lama tersimpan dalam benak konsumen (Kotler dan Keller, 2006).

Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Merek merupakan nama, tanda, simbol rancangan atau kombinasi dari hal-hal yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang kelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Kotler dan Keller, 2006). Aaker (1991) dalam Brink et al. (2006) mendefinisikan loyalitas merek (brand loyalty) sebagai situasi yang merefleksikan seberapa suka pelanggan akan berpindah ke merek lain, khususnya saat merek melakukan perubahan baik itu pada harga atau fitur produk. Loyalitas merek yang didasarkan pada pelanggan merupakan inti dari ekuitas merek (brand equity) dan merupakan ukuran pelengkap yang dimiliki konsumen dari sebuah merek. Loyalitas merek secara kualitatif berbeda dengan dimensi utama dari ekuitas merek lainnya, karena lebih mengarah pada pengalaman penggunaan. Loyalitas merek tidak dapat muncul tanpa pembelian dan pengalaman penggunaan terlebih dahulu.

Loyalitas merek merupakan indikator kedekatan pelanggan pada sebuah merek. Bila loyalitas merek meningkat, keeratan kelompok pelanggan terhadap pesaing dapat dikurangi. Loyalitas merupakan indikator ekuitas merek yang berkaitan dengan penjualan dan laba masa depan. Beberapa pengertian loyalitas merek berikut ini didasarkan pada pendekatan sikap sebagai komitmen psikologis dan pendekatan keperilakuan yang tercermin dalam perilaku beli aktual. Dharmmesta (1999) telah mengklarifikasi istilah tersebut melalui definisi yang mencakup enam kondisi yang secara kolektif memadai sebagai berikut:

Loyalitas merek adalah (1) respon keperilakuan yaitu pembelian, (2) yang bersifat bias (nonrandom), (3) terungkap secara terus menerus, (4) oleh unit pengambilan keputusan, (5) dengan memperhatikan satu atau beberapa merek alternatif dari sejumlah merek sejenis, dan (6) merupakan fungsi proses psikologis (pengambilan keputusan evaluatif). 

Menurut definisi tersebut, penelitian tentang loyalitas merek selalu berkaitan dengan preferensi konsumen dan pembelian aktual, meskipun bobot relatif yang diberikan pada kedua variabel itu dapat berbeda, bergantung pada bidang produk, atau merek yang terlibat dan faktor situasional yang ada pada saat pembelian tertentu dilakukan. Pemahaman tentang hubungan antara loyalitas merek secara psikologis dan faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian mencerminkan informasi kritis yang dapat mempengaruhi pengembangan rencana dan strategi pemasaran. Sebagai contoh, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap perbedaan harga atau terhadap kondisi kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih besar pada penetapan harga kompetitif dan alokasi sumber yang lebih banyak untuk mempertahankan distribusi dibandingkan dengan loyalitas merek yang kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.

Mowen dan Minor (1998) seperti dikutip dalam Dharmmesta (1999) menggunakan definisi loyalitas merek dalam arti kondisi konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini juga didasarkan pada kedua pendekatan yaitu keperilakukan dan sikap. Boulding et al (1993) dalam Dharmmesta (1999) juga mengemukakan bahwa terjadinya loyalitas merek pada konsumen disebabkan oleh adanya pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tersebut yang terakumulasi secara terus-menerus, disamping adanya persepsi tentang kualitas produk. Definisi yang dikemukakan didasarkan pada kedua pendekatan, yaitu keperilakuan dan sikap. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keperilakuan, maka perlu dibedakan antara loyalitas merek dan perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan di dalamnya. Sebaliknya, loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.

Menurut Dharmmesta (1999), terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami loyalitas:
1. Pendekatan keperilakuan (behavioral approach)
Merek didefinisikan dengan berbagai ukuran perilaku, yaitu runtutan pembelian, proporsi pembelian, dan probabilitas pembelian.

2. Pendekatan kesikapan (attitudinal approach)
Pendekatan ini menekankan pada komitmen psikologis terhadap merek. Dalam pendekatan kesikapan, ukuran yang dipakai meliputi kepuasan, komitmen dan niat. Riset loyalitas yang menekankan pada sikap dipandang lebih penting dan bermanfaat karena sikaplah yang mendorong berperilaku tertentu.

Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan menguji:
1. Loyalitas kognitif adalah informasi merek yang dipegang oleh konsumen (yaitu keyakinan konsumen) harus menunjuk pada merek fokal yang dianggap superior dalam persaingan.
2. Loyalitas afektif adalah tingkat kesukaan konsumen arus lebih tinggi daripada merek saingan, dehingga ada preferensi afektif yang jelas pada merek fokal.
3. Loyalitas konatif adalah struktur niat konsumen terhadap merek fokal, artinya konsumen harus mempunyai niat untuk membeli merek fokal, bukan merek lain ketika keputusan beli dilakukan.
4. Loyalitas tindakan adalah loyalitas yang merupakan perilaku atau tindakan atas kontrol tindakan yang merupakan pengembangan dari loyalitas konagtif. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi meruapakn kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. 

Loyalitas yang sesungguhnya akan terjadi hanya ketika patronase pengulangan muncul bersama sikap relatif yang tinggi. Jika sikap relatifnya rendah, maka loyalitas dapat dianggap palsu atau pura-pura yang tidak diharapkan akan terjadi terus. Konsumen pada kondisi ini (inersia) dapat melakukan pembelian ulang karena hanya satu merek yang tersedia di penjual. Jika patronase pengulangan dan sikap relatifnya sama-sama rendah, tidak terjadi loyalitas. Akan tetapi, kebutuhan yang bersifat sering untuk suatu produk atau layanan, pembelian ulang yang rendah pada suatu merek masih dapat memberikan harapan bagi pemasar apabila dapat ditanamkan sikap relatif yang tinggi pada konsumen.

Loyalitas terhadap merek tidak terbentuk secara instan, perlu waktu panjang untuk menciptakannya, dari hasil akumulasi pengalaman berinteraksi antara konsumen dengan merek tersebut, disebut dengan pengalaman merek (brand experience). Loyalitas dapat terbentuk apabila konsumen menemukan bahwa pengalaman merek (brand experience) sama dengan keyakinan merek (brand beliefs). Namun yang seringkali terjadi adalah pengalaman merek (brand experience) berlawanan dengan keyakinan merek (brand beliefs). Apa yang diyakini oleh konsumen akan didapat saat mencoba (trial) sebuah produk atau jasa, ternyata tidak diperolehnya. Pada kondisi ini proses konversi mencoba (trial) ke pembelian kembali (repeat purchase) atau pembelian kembali (repeate purchase) menuju loyalitas merek (brand loyalty) menjadi terhenti. Untuk memperoleh loyalitas merek, perusahaan harus berusaha untuk memberikan pengalaman merek (brand experience) yang terbaik dan konsisten dari waktu ke waktu, dari sejak interaksi awal hingga interaksi-interaksi berikutnya. Setelah terbentuk loyalitas, walaupun masih mungkin terpengaruh oleh promosi kompetitor, tetapi peluangnya menjadi lebih kecil untuk berpindah (Kotler dan Keller, 2006). Beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang memiliki pelanggan dengan loyalitas merek yang kuat adalah:
1. Perusahaan akan mengeluarkan biaya pemasaran yang relatif lebih kecil karena tingkat kesadaran dan kesetiaan merek pelanggan yang tinggi.
2. Perusahaan akan mempunyai posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer karena pelanggan mengharapkan mendapatkan merek tersebut.
3. Perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi dari pesaingnya karena merek tersebut memiliki kualitas yang diyakini lebih tinggi.
4. Perusahaan dapat lebih mudah untuk melakukan perluasan merek karena merek tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi.
5. Merek itu memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang ketat.

Menurut Dharmamesta (1999), secara umum loyalitas merek dapat diukur dengan cara sebagai berikut :
1. Runtutan pilihan-merek (brand-choice sequence),
2. Proporsi pembelian (proportion of purchase),
3. Preferensi merek (brand preference), dan
4. Komitmen merek (brand commitment).

Cara pertama dan kedua merupakan pendekatan keperilakuan (behavioral approach), sedangkan cara ketiga dan keempat termasuk dalam pendekatan sikap (attitudinal approach). Dalam prakteknya, pengidentifikasian loyalitas merek harus dilakukan secara terus-menerus. Basis harian, mingguan, atau bulanan dapat dipakai sesuai dengan karakteristik keputusan beli konsumen. Untuk pembelian bahan makanan misalnya, pengidentifikasian loyalitas merek dapat dilakukan secara harian atau mingguan. Perlu diperhatikan juga bahwa jika konsumen membeli produk-produk tertentu karena pengaruh promosi penjualan dari pemasar dan bukannya karena kualitas positif intrinsik produk tersebut, maka konsumen akan memiliki kebiasaan beli hanya ketika diadakan promosi penjualan.

Posting Komentar

0 Komentar